Selasa, 24 April 2012

Asuhan Keperawatan Transkultural pada Suku Bajo



BAB 3. STUDI KASUS BUDAYA

3.1  Kajian atau Deskripsi Budaya Masyarakat Suku Bajo di Pulau Saponda
Suku Bajo adalah salah satu suku yang mendiami pulau Sulawesi. Konon Suku Bajo berasal dari Laut Cina Selatan. Ada yang menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka keturunan orang-orang Johor atau keturunan Suku Sameng yang ada di semananjung Malaka Malaysia yang diperintahkan raja untuk mencari putrinya yang kabur dari istana. Orang-orang tersebut mengarungi lautan ke sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi. Kabarnya sang puteri berada di Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe. Sedangkan orang-orang yang mencarinya juga lambat laun memilih tinggal di Sulawesi, enggan kembali ke Johor. Keturunan mereka lalu menyebar ke segala penjuru wilayah Indonesia semenjak abad ke-16 dengan perahu. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden atau manusia perahu (seanomedic).
Suku ini dominan menempati pesisir pantai dan kepulauan, memiliki usaha penangkapan ikan sebagai mata pencaharian. Ketergantungan mereka dengan laut sangat tinggi. Budaya dan cara hidup mereka masih lekat dengan aroma laut. Selain itu, suku Bajo terkenal akrab dengan suku-suku yang lain. Contohnya saja dengan suku Bugis. Dengan keakrabannya tersebut, mereka memiliki mobilitas yang tinggi. Jumlah manusia Bajo hidup tersebar diberbagai pulau di Indonesia, namun belum dapat diketahui dengan baik karena sejak lama mereka berpindah-berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Keluarga manusia Bajo dahulu lebih banyak hidup di atas perahu yang mereka sebut bido. Mereka melakukan berbagai kegiatan hidup seperti tidur, memasak, melahirkan, dan kegiatan yang lainnya di atas perahu. Meskipun manusia Bajo terpisah di tempat-tempat yang berjarak puluhan atau ratusan kilometer, hubungan kekeluargaan mereka masih tetap terjaga dalam tingkat keakraban tertentu. Suku Bajo menyukai perdamaian dan menghindari perkelahian. Oleh sebab itu, mereka bersikap pasif terhadap tekanan atau pemerasan dari pihak luar.
Manusia Bajo memang dikenal sebagai manusia laut dengan karakteristik masyarakat nelayan dan pengembara lautan. Pada awalnya hidup mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan alat perahu dan sekaligus sebagai tempat tinggalnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak dahulu sampai kira-kira seabad yang lalu. Kemudian mereka mengenal kehidupan yang menetap dipinggir pantai. Mereka mulai mengenal dan memiliki tanah sehingga sedikit demi sedikit meninggalkan kebiasaan sederhana yang membangun di atas air. Sebagian dari mereka membuat tumpukan batu karang yang di atasnya dapat ditempati membuat rumah.
Suku Bajo dalam kehidupannya hanya mengenal dua kelompok manusia, yaitu Same dan Bagai. Same adalah sebutan semua orang Bajo, sedangkan Bagai adalah sebutan semua orang di luar suku Bajo seperti suku Bugis, Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. Dari sisi kehidupan sosial, mereka sangat menghormati nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bagai bahkan manusia Bajo mudah beradaptasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat dimana mereka berada. Sifat mudah beradaptasi menjadi bukti sikap hidup toleran dalam komunitas mereka dan hal inilah yang menjadi kunci keberhasilan mereka sehingga dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Bagai.
Suku Bajo yang mendiami pulau Saponda memiliki kebudayaan dan tradisi yang memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah budaya khitanan yang oleh masyarakat setempat disebut sunna’ sama. Khitanan ini tidak ada perbedaan dengan khitanan yang ada pada suku Bajo lainnya di daerah lain. Kecuali satu hal yang membuat tradisi khitanan masyarakat Saponda ini kelihatan unik. Jika anak laki-laki Bajo lainnya yang ada di Kecamatan Soropia dikhitan menggunakan jasa bidan atau perawat, anak-anak Pulau Saponda justru harus khitanan tanpa tenaga ataupun peralatan medis. Hal ini merupakan budaya dan tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat Bajo di pulau yang sudah mulai mengalami abrasi ini.
Peralatan yang digunakan dalam sunna’ sama ini jelas sangat berbeda dengan peralatan yang digunakan oleh para bidan atau perawat. Di pulau Saponda ini tidak akan menemukan peralatan-peralatan kesehatan, apalagi obat untuk mengurangi rasa sakit. Mereka menggunakan pahat yang berfungsi untuk menggantikan gunting, dua buah hansaplast sebagai pengganti plester, palu-palu yang terbuat dari kayu, dan balok yang digunakan sebagai alas ketika proses khitanan berlangsung. Peralatan ini memang sangat sederhana, tapi terlihat sangat menakutkan bagi anak-anak yang akan dikhitan.
Sebelum proses khitanan berlangsung, seorang pemuka adat yang akan melakukan khitanan terlebih dulu berdoa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua peralatan yang akan digunakan dikumpulkan dan diletakkan menjadi satu di hadapan pemuka adat untuk dibacakan doa.
Memukul gendang ketika proses khitanan berlangsung merupakan ritual yang wajib untuk dilaksanakan. Dan pukulan gendang ini tidak boleh berhenti sebelum anak-anak tersebut selesai dikhitan. Hal ini dipercayai masyarakat setempat untuk mengurangi rasa sakit.
Selain itu, ada satu hal yang membuat sunna’ sama ini memiliki nilai lebih. Walaupun tidak ada obat untuk mengurangi rasa sakit, tetapi proses penyembuhan luka lebih cepat daripada yang menggunakan tenaga medis.

3.2  Pengkajian Transcultural Nursing
Pengkajian Transcultural Nursing didasari pada 7 komponen yang terdapat pada “Sunrise Model”, yaitu:
a.      Faktor Teknologi (Technologi Factors)
Kelengkapan sangat berpengaruh dalam memberikan pelayanan kesehatan. Fasilitas juga menentukan beban kerja seorang petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan menjadi salah satu faktor yang dapat mendorong atau memotivasi masyarakat untuk melakukan upaya pengobatan. namun lain halnya dengan masyarakat suku Bajo, meskipun mereka sudah mengenal dan mempunyai alat-alat medis dan tenaga medis yang cukup lengkap, mereka tetap memegang teguh budaya khitanan untuk anak-anak mereka.

b.      Faktor Agama dan Falsafah Hidup (Religious and Philosophical Factors)
Pada awalnya, suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun, seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo yang berpindah agama. Karena agama mereka Islam, bagi yang berjenis kelamin laki-laki maka harus dilakukan khitan. Namun, khitanan ini dilakukan tanpa menggunakan alat-alat medis.
Suku Bajo beranggapan bahwa dukun mampu menyelesaikan masalah sehat-sakit karena mereka mengetahui dukun telah banyak menyembuhkan masyarakat  yang sakit.

c.       Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga (kinship and Social Factors)
Masyarakat suku Bajo merupakan homogenitas etnik yang penuh didasari hubungan kekeluargaan, kekerabatan, gotong royong, dan menghindari konflik. Selain itu, suku Bajo yang sebagian besar mata pencahariannya adalah nelayan mereka sangat menggantungkan hidupnya pada laut memiliki relasi sosial dengan pemilik modal (punggawa) tidak hanya berdimensi patron klien, tetapi juga simbiosis mutualisme (hubungan saling menguntungkan). Contohnya saja pada upacara khitanan di pulau Saponda, ketika upacara khitanan dilaksanakan banyak masyarakat yang ikut memeriahkan upacara tersebut dari pemuka adat untuk membacakan doa sampai masyarakat yang ikut memeriahkan dengan memukul gendang.

d.      Nilai-Nilai Budaya dan Gaya Hidup (Cultural Value and Life Ways)
Masyarakat suku Bajo di pulau Saponda ini memiliki nilai budaya yang sangat unik dan beda dari suku Bajo di daerah lain. Mereka memiliki sebuah budaya dalam proses khitanan yang dikenal dengan sunna’ sama. Khitanan ini diketahui tidak menggunakan alat-alat medis. Oleh karena itu, risiko infeksi yang terjadi cukup tinggi.

e.       Faktor Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku (Political and Legal Factors)
Masyarakat suku Bajo di Pulau Saponda mempunyai sebuah peraturan adat yang tidak boleh untuk tidak dilakukan, yaitu meng-khitan anak laki-laki mereka sebelum memasuki akil baligh. Peraturan inipun sebenarnya dilakukan berdasarkan agama yang mereka anut, yakni islam, namun cara yang mereka lakukan masih dianggap menyimpang jika dilihat dari segi kesehatan.

f.       Faktor Ekonomi (Economical Factors)
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang memberikan konstribusi terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan Barlin Adam, Darmawansyah, dan Masni, sebagian besar pendapatan masyarakat suku Bajo per bulan < 650 ribu sebanyak 158 responden (41,7%), dan yang terkecil yakni 650 ribu yaitu sebanyak 77 responden (20,3%). Artinya pendapatan masyarakat suku Bajo per bulan dibawah UMR Rp 650.000. Hal ini disebabkan karena rendahnya tengkulat atau penada hasil tangkapan dan juga disebabkan oleh faktor alat penangkap ikan dan teripang yang digunakan, seperti perahu dan alat pancing yang digunakan.
Jarak antara tempat tinggal suku Bajo dengan tempat pelayanan kesehatan sangat jauh yaitu lebih dari 60 menit sehingga pada umumnya masyarakat suku Bajo tidak mampu pergi ke tempat pelayanan kesehatan tersebut. selain itu, transportasi untuk mencapai tempat tersebut sangat sulit dan jalannya rusak. Biaya transportasinya pun cukup mahal yaitu sekitar Rp 20.000, menurut masyarakat suku Bajo ini sangat mahal sehubungan dengan pendapatan mereka.
Masyarakat sebenarnya sudah tahu manfaat dari pelayanan kesehatan, hanya saja karena faktor jarak dan faktor ekonomi mereka sehingga pengguanaan sarana pelayanan kesehatan tersebut jarang didayagunakan oleh masyarakat.
Selain karena faktor ekonomi dan geografis, masyarakat suku Bajo melakukan khitanan dengan alat nonmedis dengan alasan budaya dan tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat tersebut.

g.      Faktor Pendidikan (Educational Factors)
Tingkat pendidikan masyarakat suku Bajo sangat rendah. Banyak masyarakat suku pengembara laut ini yang masih buta huruf. Budaya fasalitik juga masih melekat kuat dalam kepribadian mereka seperti kurang kreatif dan produktif, cepat puas dengan apa yang diperoleh, pasrah pada nasib, sikap konsumtif dan boros. Faktor pendidikan suku ini masih sangat rendah karena kehidupan mereka hanya diabdikan pada laut, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk belajar sehingga suku Bajo dekat dengan kemiskinan.
Akibat pendidikan mereka yang rendah, pengetahuan merekapun tidak bisa berkembang. Mereka tidak mengerti apa yang telah dilakukan mereka itu kurang benar. Anggapan mereka tentang infeksi adalah hanya sebatas infeksi itu terjadi akibat kurangnya menjaga kebesihan alat kelamin setelah dilakukan proses khitanan, mereka tidak berfikir bahwa alat-alat yang mereka gunakan bisa saja menjadi faktor terjadinya infeksi tersebut.

3.3  Diagnosis Keperawatan Lintas Budaya
a.       Kecemasan dalam menghadapi khitanan berhubungan dengan proses khitan yang menggunakan alat tradisional, yakni pahat dan palu sebagai pengganti gunting dan balok sebagai alas untuk khitan.
b.      Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan penggunaan alat khitan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan.
c.       Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan akses informasi dan rendahnya pendidikan.
d.      Nyeri akut berhubungan dengan proses khitan yang menggunakan alat tradisional dengan tanpa adanya obat penghilang rasa sakit yang digunakan.
e.       Risiko terjadinya trauma berhubungan dengan ketakutan anak dalam menjalani proses khitan yang menggunakan alat tradisional.
f.       Risiko kerusakan integritas kulit berubungan dengan proses khitanan yang menggunakan alat taradisional berupa pahat dan palu sebagai pengganti gunting dan balok sebagai alas. 

3.4  Perencanaan Keperawatan Lintas Budaya
Diagnosa keperawatan
Kriteria Hasil (NOC)
Intervensi (NIC)
a.    Kecemasan dalam menghadapi khitanan berhubungan dengan proses khitan yang menggunakan alat tradisional, yakni pahat dan palu sebagai pengganti gunting dan balok sebagai alas untuk khitan.

Klien menyatakan peningkatan kenyamanan psikologis dan fisiologis.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien akan dapat:
1.    Menggambarkan ansietas dan pola kopingnya
2.    Menggunakan mekanisema koping yang efektif
1.  Buat hubungan saling percaya
2.  Kaji tingkat ansietas: ringan, sedang, berat, panik
3.  Berikan kenyamanan pada klien: dampingi klien, perlihatkan rasa empati.
4.  Ajarkan teknik penghentian ansietas: nafas dalam, pengalihan perhatian
5.  Libatkan orangtua dalam mengurangi kecemasan anak
b.   Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan penggunaan  alat khitan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan.
Klien dapat menjelaskan faktor resiko yang berkaitan dengan  infeksi dan mencegah terjadinya infeksi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien diharapkan  mampu:
1.   Menggambarkan proses terjadinya infeksi
2.   Menjelaskan penyebab terjadinya infeksi
3.   Mengetahui tanda-tanda terjadinya infeksi
1.      Kaji adanya tanda infeksi
2.      Lakukan perawatan luka dengan baik dan tepat
3.      ajarkan tekhnik perawatan luka dengan benar
4.      anjurkan kepada keluarga dan pasien untuk melapor pada tenaga kesehatan jika terjadi tanda infeksi
5.       berikan diet tinggi protein untuk mempercepat proses penyembuhan
c.       Kurangnya pengetahuan  tentang metode  khitan berhubungan dengan keterbatasan akses informasi dan rendahnya pendidikan.
Klien dapat melakukan metode khitan dengan tepat dan baik.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien diharapkan mampu:
1.    Menyebutkan alat-alat yang sesuai standar  kesehatan yang digunakan dalam proses khitan
2.    Menjelaskan dan mempraktekkan metode  khitan yang benar
1.     Kaji tingkat pengetahuan klien tentang metode khitan
2.     Kaji lingkungan sekitar klien
3.     Fasilitasi segala pertanyaan dan akses untuk mendapatkan informasi
4.     Kaji  efektifitas penyediaan akses informasi
5.     Pantau  minat klien dalam mengakses informasi


3.5  Pendekatan atau Teknik Transcultural Nursing
3.5.1        Komunikasi
Dalam pengkajian keperawatan lintas budaya, tentunya kita akan menemukan berbagai macam bahasa yang berbeda di tiap budaya. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan mampu masuk ke dalam sebuah kebudayaan, kita sebagai perawat lintas budaya tentunya harus bisa mempelajari teknik-teknik komunikasi di dalam suatu  budaya tersebut. Dalam hal ini, suku Bajo diketahui menggunakan bahasa melayu, namun bahasa melayu yang digunakan tidak seperti bahasa melayu yang digunakan oleh warga negara Malaysia. Selain itu, masyarakat suku Bajo mayoritas masih buta huruf  karena rendahnya tingkat pendidikan mereka. Jadi ketika kita masuk ke wilayah mereka, tentunya kita tidak bisa menggunakan komunikasi dengan tulisan.

3.5.2        Strata Sosial
Suku Bajo dalam kehidupannya hanya mengenal dua kelompok manusia, yaitu Same dan Bagai. Same adalah sebutan semua orang Bajo, sedangkan  Bagai adalah  sebutan semua orang di luar suku Bajo seperti suku Bugis, Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. Dari sisi kehidupan sosial, mereka sangat menghormati nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bagai bahkan manusia Bajo mudah beradaptasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat dimana mereka berada. Sifat mudah beradaptasi menjadi bukti sikap hidup toleran dalam komunitas mereka dan hal inilah yang menjadi kunci keberhasilan mereka sehingga dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Bagai.

3.5.3        Ruang
Manusia Bajo dikenal sebagai manusia laut dengan karakteristik masyarakat nelayan dan pengembara lautan. Pada awalnya hidup mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan alat perahu dan sekaligus sebagai tempat tinggalnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak dahulu sampai kira-kira seabad yang lalu. Kemudian mereka mengenal kehidupan yang menetap dipinggir pantai. Mereka mulai mengenal dan memiliki tanah sehingga sedikit demi sedikit meninggalkan kebiasaan sederhana yang membangun di atas air. Sebagian dari mereka membuat tumpukan batu karang yang di atasnya dapat ditempati membuat rumah.

2 komentar:

  1. ni Q salah satu dari suku bajo/same.....
    nama saya sahdan..salam kenal y min...
    aku kuliah di UNRAM d NTB......

    bagus ni tulisan kamu...gua apresiasi

    BalasHapus