BAB
3. STUDI KASUS BUDAYA
3.1 Kajian atau Deskripsi Budaya
Masyarakat Suku Bajo di Pulau Saponda
Suku Bajo adalah salah
satu suku yang mendiami pulau Sulawesi. Konon Suku Bajo berasal
dari Laut Cina Selatan. Ada yang menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari
Johor, Malaysia. Mereka keturunan orang-orang Johor atau
keturunan Suku Sameng yang ada di semananjung Malaka Malaysia yang
diperintahkan raja untuk mencari putrinya yang kabur dari istana. Orang-orang
tersebut mengarungi lautan ke sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi.
Kabarnya sang puteri berada di Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian
menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe. Sedangkan
orang-orang yang mencarinya juga lambat laun memilih tinggal di Sulawesi,
enggan kembali ke Johor. Keturunan mereka lalu menyebar ke segala penjuru
wilayah Indonesia semenjak abad ke-16 dengan perahu. Itulah sebabnya mereka
digolongkan suku laut nomaden atau manusia perahu (seanomedic).
Suku ini dominan
menempati pesisir pantai dan kepulauan, memiliki usaha penangkapan ikan sebagai
mata pencaharian. Ketergantungan mereka dengan laut sangat tinggi. Budaya dan
cara hidup mereka masih lekat dengan aroma laut. Selain itu, suku Bajo terkenal
akrab dengan suku-suku yang lain. Contohnya saja dengan suku Bugis. Dengan
keakrabannya tersebut, mereka memiliki mobilitas yang tinggi. Jumlah manusia
Bajo hidup tersebar diberbagai pulau di Indonesia, namun belum dapat diketahui
dengan baik karena sejak lama mereka berpindah-berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya. Keluarga manusia Bajo dahulu lebih banyak hidup di atas perahu
yang mereka sebut bido. Mereka
melakukan berbagai kegiatan hidup seperti tidur, memasak, melahirkan, dan
kegiatan yang lainnya di atas perahu. Meskipun manusia Bajo terpisah di
tempat-tempat yang berjarak puluhan atau ratusan kilometer, hubungan
kekeluargaan mereka masih tetap terjaga dalam tingkat keakraban tertentu. Suku
Bajo menyukai perdamaian dan menghindari perkelahian. Oleh sebab itu, mereka
bersikap pasif terhadap tekanan atau pemerasan dari pihak luar.
Manusia Bajo memang
dikenal sebagai manusia laut dengan karakteristik masyarakat nelayan dan
pengembara lautan. Pada awalnya hidup mereka berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lainnya dengan alat perahu dan sekaligus sebagai tempat tinggalnya.
Keadaan tersebut berlangsung sejak dahulu sampai kira-kira seabad yang lalu.
Kemudian mereka mengenal kehidupan yang menetap dipinggir pantai. Mereka mulai
mengenal dan memiliki tanah sehingga sedikit demi sedikit meninggalkan
kebiasaan sederhana yang membangun di atas air. Sebagian dari mereka membuat
tumpukan batu karang yang di atasnya dapat ditempati membuat rumah.
Suku Bajo dalam
kehidupannya hanya mengenal dua kelompok manusia, yaitu Same dan Bagai. Same adalah sebutan semua orang Bajo,
sedangkan Bagai adalah sebutan semua
orang di luar suku Bajo seperti suku Bugis, Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya.
Dari sisi kehidupan sosial, mereka sangat menghormati nilai-nilai sosial budaya
masyarakat Bagai bahkan manusia Bajo
mudah beradaptasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat dimana mereka berada.
Sifat mudah beradaptasi menjadi bukti sikap hidup toleran dalam komunitas
mereka dan hal inilah yang menjadi kunci keberhasilan mereka sehingga dapat
hidup berdampingan dengan masyarakat Bagai.
Suku Bajo yang mendiami
pulau Saponda memiliki kebudayaan dan tradisi yang memperkaya khazanah
kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah budaya khitanan yang oleh masyarakat
setempat disebut sunna’ sama.
Khitanan ini tidak ada perbedaan dengan khitanan yang ada pada suku Bajo
lainnya di daerah lain. Kecuali satu hal yang membuat tradisi khitanan
masyarakat Saponda ini kelihatan unik. Jika anak laki-laki Bajo lainnya yang
ada di Kecamatan Soropia dikhitan menggunakan jasa bidan atau perawat,
anak-anak Pulau Saponda justru harus khitanan tanpa tenaga ataupun peralatan
medis. Hal ini merupakan budaya dan tradisi yang terus dilestarikan oleh
masyarakat Bajo di pulau yang sudah mulai mengalami abrasi ini.
Peralatan yang
digunakan dalam sunna’ sama ini jelas
sangat berbeda dengan peralatan yang digunakan oleh para bidan atau perawat. Di
pulau Saponda ini tidak akan menemukan peralatan-peralatan kesehatan, apalagi
obat untuk mengurangi rasa sakit. Mereka menggunakan pahat yang berfungsi untuk
menggantikan gunting, dua buah hansaplast sebagai pengganti plester, palu-palu
yang terbuat dari kayu, dan balok yang digunakan sebagai alas ketika proses
khitanan berlangsung. Peralatan ini memang sangat sederhana, tapi terlihat
sangat menakutkan bagi anak-anak yang akan dikhitan.
Sebelum proses khitanan
berlangsung, seorang pemuka adat yang akan melakukan khitanan terlebih dulu
berdoa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua peralatan yang
akan digunakan dikumpulkan dan diletakkan menjadi satu di hadapan pemuka adat
untuk dibacakan doa.
Memukul gendang ketika
proses khitanan berlangsung merupakan ritual yang wajib untuk dilaksanakan. Dan
pukulan gendang ini tidak boleh berhenti sebelum anak-anak tersebut selesai
dikhitan. Hal ini dipercayai masyarakat setempat untuk mengurangi rasa sakit.
Selain itu, ada satu
hal yang membuat sunna’ sama ini
memiliki nilai lebih. Walaupun tidak ada obat untuk mengurangi rasa sakit,
tetapi proses penyembuhan luka lebih cepat daripada yang menggunakan tenaga
medis.
3.2 Pengkajian Transcultural Nursing
Pengkajian Transcultural Nursing didasari pada 7
komponen yang terdapat pada “Sunrise
Model”, yaitu:
a. Faktor Teknologi (Technologi Factors)
Kelengkapan
sangat berpengaruh dalam memberikan pelayanan kesehatan. Fasilitas juga
menentukan beban kerja seorang petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan menjadi salah satu
faktor yang dapat mendorong atau memotivasi masyarakat untuk melakukan upaya
pengobatan. namun lain halnya dengan masyarakat suku Bajo, meskipun mereka
sudah mengenal dan mempunyai alat-alat medis dan tenaga medis yang cukup
lengkap, mereka tetap memegang teguh budaya khitanan untuk anak-anak mereka.
b. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (Religious and Philosophical Factors)
Pada awalnya,
suku Bajo memeluk kepercayaan animisme
dan agama Hindu. Namun, seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan
Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo yang berpindah agama. Karena
agama mereka Islam, bagi yang berjenis kelamin laki-laki maka harus dilakukan
khitan. Namun, khitanan ini dilakukan tanpa menggunakan alat-alat medis.
Suku Bajo
beranggapan bahwa dukun mampu menyelesaikan masalah sehat-sakit karena mereka
mengetahui dukun telah banyak menyembuhkan masyarakat yang sakit.
c. Faktor Sosial dan Keterikatan
Keluarga (kinship and Social Factors)
Masyarakat suku
Bajo merupakan homogenitas etnik yang
penuh didasari hubungan kekeluargaan, kekerabatan, gotong royong, dan
menghindari konflik. Selain itu, suku Bajo yang sebagian besar mata
pencahariannya adalah nelayan mereka sangat menggantungkan hidupnya pada laut
memiliki relasi sosial dengan pemilik modal (punggawa) tidak hanya berdimensi patron klien, tetapi juga simbiosis
mutualisme (hubungan saling menguntungkan). Contohnya saja pada upacara
khitanan di pulau Saponda, ketika upacara khitanan dilaksanakan banyak
masyarakat yang ikut memeriahkan upacara tersebut dari pemuka adat untuk
membacakan doa sampai masyarakat yang ikut memeriahkan dengan memukul gendang.
d. Nilai-Nilai Budaya dan Gaya Hidup (Cultural Value and Life Ways)
Masyarakat suku
Bajo di pulau Saponda ini memiliki nilai budaya yang sangat unik dan beda dari
suku Bajo di daerah lain. Mereka memiliki sebuah budaya dalam proses khitanan
yang dikenal dengan sunna’ sama.
Khitanan ini diketahui tidak menggunakan alat-alat medis. Oleh karena itu,
risiko infeksi yang terjadi cukup tinggi.
e. Faktor Kebijakan dan Peraturan yang
Berlaku (Political and Legal Factors)
Masyarakat suku Bajo di Pulau Saponda mempunyai
sebuah peraturan adat yang tidak boleh untuk tidak dilakukan, yaitu meng-khitan
anak laki-laki mereka sebelum memasuki akil
baligh. Peraturan inipun sebenarnya dilakukan berdasarkan agama yang mereka
anut, yakni islam, namun cara yang mereka lakukan masih dianggap menyimpang
jika dilihat dari segi kesehatan.
f. Faktor Ekonomi (Economical Factors)
Pendapatan
merupakan salah satu faktor yang memberikan konstribusi terhadap pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan Barlin Adam,
Darmawansyah, dan Masni, sebagian besar pendapatan masyarakat suku Bajo per
bulan < 650 ribu sebanyak 158 responden (41,7%), dan yang terkecil yakni 650
ribu yaitu sebanyak 77 responden (20,3%). Artinya pendapatan masyarakat suku
Bajo per bulan dibawah UMR Rp 650.000. Hal ini disebabkan karena rendahnya
tengkulat atau penada hasil tangkapan dan juga disebabkan oleh faktor alat
penangkap ikan dan teripang yang digunakan, seperti perahu dan alat pancing
yang digunakan.
Jarak antara
tempat tinggal suku Bajo dengan tempat pelayanan kesehatan sangat jauh yaitu
lebih dari 60 menit sehingga pada umumnya masyarakat suku Bajo tidak mampu
pergi ke tempat pelayanan kesehatan tersebut. selain itu, transportasi untuk
mencapai tempat tersebut sangat sulit dan jalannya rusak. Biaya transportasinya
pun cukup mahal yaitu sekitar Rp 20.000, menurut masyarakat suku Bajo ini
sangat mahal sehubungan dengan pendapatan mereka.
Masyarakat
sebenarnya sudah tahu manfaat dari pelayanan kesehatan, hanya saja karena
faktor jarak dan faktor ekonomi mereka sehingga pengguanaan sarana pelayanan
kesehatan tersebut jarang didayagunakan oleh masyarakat.
Selain karena
faktor ekonomi dan geografis, masyarakat suku Bajo melakukan khitanan dengan
alat nonmedis dengan alasan budaya dan tradisi yang terus dilestarikan oleh
masyarakat tersebut.
g. Faktor Pendidikan (Educational Factors)
Tingkat
pendidikan masyarakat suku Bajo sangat rendah. Banyak masyarakat suku pengembara
laut ini yang masih buta huruf. Budaya fasalitik juga masih melekat kuat dalam
kepribadian mereka seperti kurang kreatif dan produktif, cepat puas dengan apa
yang diperoleh, pasrah pada nasib, sikap konsumtif dan boros. Faktor pendidikan
suku ini masih sangat rendah karena kehidupan mereka hanya diabdikan pada laut,
mereka tidak mempunyai kesempatan untuk belajar sehingga suku Bajo dekat dengan
kemiskinan.
Akibat
pendidikan mereka yang rendah, pengetahuan merekapun tidak bisa berkembang.
Mereka tidak mengerti apa yang telah dilakukan mereka itu kurang benar. Anggapan
mereka tentang infeksi adalah hanya sebatas infeksi itu terjadi akibat
kurangnya menjaga kebesihan alat kelamin setelah dilakukan proses khitanan,
mereka tidak berfikir bahwa alat-alat yang mereka gunakan bisa saja menjadi
faktor terjadinya infeksi tersebut.
3.3 Diagnosis Keperawatan Lintas Budaya
a.
Kecemasan dalam menghadapi khitanan
berhubungan dengan proses khitan yang menggunakan alat tradisional, yakni pahat
dan palu sebagai pengganti gunting dan balok sebagai alas untuk khitan.
b.
Risiko tinggi terjadinya infeksi
berhubungan dengan penggunaan alat khitan yang tidak sesuai dengan standar
kesehatan.
c.
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan
keterbatasan akses informasi dan rendahnya pendidikan.
d.
Nyeri akut berhubungan dengan proses
khitan yang menggunakan alat tradisional dengan tanpa adanya obat penghilang
rasa sakit yang digunakan.
e.
Risiko terjadinya trauma berhubungan
dengan ketakutan anak dalam menjalani proses khitan yang menggunakan alat
tradisional.
f.
Risiko kerusakan integritas kulit
berubungan dengan proses khitanan yang menggunakan alat taradisional berupa
pahat dan palu sebagai pengganti gunting dan balok sebagai alas.
3.4 Perencanaan Keperawatan Lintas
Budaya
Diagnosa keperawatan
|
Kriteria Hasil (NOC)
|
Intervensi (NIC)
|
a. Kecemasan
dalam menghadapi khitanan berhubungan dengan proses khitan yang menggunakan
alat tradisional, yakni pahat dan palu sebagai pengganti gunting dan balok sebagai
alas untuk khitan.
|
Klien menyatakan
peningkatan kenyamanan psikologis dan fisiologis.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan, diharapkan klien akan dapat:
1. Menggambarkan
ansietas dan pola kopingnya
2. Menggunakan
mekanisema koping yang efektif
|
1. Buat
hubungan saling percaya
2. Kaji
tingkat ansietas: ringan, sedang, berat, panik
3. Berikan
kenyamanan pada klien: dampingi klien, perlihatkan rasa empati.
4. Ajarkan
teknik penghentian ansietas: nafas dalam, pengalihan perhatian
5. Libatkan
orangtua dalam mengurangi kecemasan anak
|
b. Risiko
tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan penggunaan alat khitan yang tidak sesuai dengan standar
kesehatan.
|
Klien dapat
menjelaskan faktor resiko yang berkaitan dengan infeksi dan mencegah terjadinya infeksi.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan, klien diharapkan mampu:
1. Menggambarkan
proses terjadinya infeksi
2. Menjelaskan
penyebab terjadinya infeksi
3. Mengetahui
tanda-tanda terjadinya infeksi
|
1. Kaji
adanya tanda infeksi
2. Lakukan
perawatan luka dengan baik dan tepat
3. ajarkan
tekhnik perawatan luka dengan benar
4. anjurkan
kepada keluarga dan pasien untuk melapor pada tenaga kesehatan jika terjadi
tanda infeksi
5. berikan diet tinggi protein untuk
mempercepat proses penyembuhan
|
c. Kurangnya
pengetahuan tentang metode khitan berhubungan dengan keterbatasan
akses informasi dan rendahnya pendidikan.
|
Klien dapat melakukan
metode khitan dengan tepat dan baik.
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan, klien diharapkan mampu:
1. Menyebutkan
alat-alat yang sesuai standar
kesehatan yang digunakan dalam proses khitan
2. Menjelaskan
dan mempraktekkan metode khitan yang
benar
|
1. Kaji
tingkat pengetahuan klien tentang metode khitan
2. Kaji
lingkungan sekitar klien
3. Fasilitasi
segala pertanyaan dan akses untuk mendapatkan informasi
4. Kaji efektifitas penyediaan akses informasi
5. Pantau minat klien dalam mengakses informasi
|
3.5 Pendekatan atau Teknik
Transcultural Nursing
3.5.1
Komunikasi
Dalam
pengkajian keperawatan lintas budaya, tentunya kita akan menemukan berbagai
macam bahasa yang berbeda di tiap budaya. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik
dan mampu masuk ke dalam sebuah kebudayaan, kita sebagai perawat lintas budaya
tentunya harus bisa mempelajari teknik-teknik komunikasi di dalam suatu budaya tersebut. Dalam hal ini, suku Bajo
diketahui menggunakan bahasa melayu, namun bahasa melayu yang digunakan tidak
seperti bahasa melayu yang digunakan oleh warga negara Malaysia. Selain itu, masyarakat
suku Bajo mayoritas masih buta huruf
karena rendahnya tingkat pendidikan mereka. Jadi ketika kita masuk ke
wilayah mereka, tentunya kita tidak bisa menggunakan komunikasi dengan tulisan.
3.5.2
Strata Sosial
Suku
Bajo dalam kehidupannya hanya mengenal dua kelompok manusia, yaitu Same dan Bagai. Same adalah
sebutan semua orang Bajo, sedangkan Bagai adalah sebutan semua orang di luar suku Bajo seperti
suku Bugis, Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. Dari sisi kehidupan sosial,
mereka sangat menghormati nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bagai bahkan manusia Bajo mudah
beradaptasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat dimana mereka berada. Sifat
mudah beradaptasi menjadi bukti sikap hidup toleran dalam komunitas mereka dan
hal inilah yang menjadi kunci keberhasilan mereka sehingga dapat hidup
berdampingan dengan masyarakat Bagai.
3.5.3
Ruang
Manusia
Bajo dikenal sebagai manusia laut dengan karakteristik masyarakat nelayan dan
pengembara lautan. Pada awalnya hidup mereka berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lainnya dengan alat perahu dan sekaligus sebagai tempat tinggalnya.
Keadaan tersebut berlangsung sejak dahulu sampai kira-kira seabad yang lalu.
Kemudian mereka mengenal kehidupan yang menetap dipinggir pantai. Mereka mulai
mengenal dan memiliki tanah sehingga sedikit demi sedikit meninggalkan
kebiasaan sederhana yang membangun di atas air. Sebagian dari mereka membuat
tumpukan batu karang yang di atasnya dapat ditempati membuat rumah.
ni Q salah satu dari suku bajo/same.....
BalasHapusnama saya sahdan..salam kenal y min...
aku kuliah di UNRAM d NTB......
bagus ni tulisan kamu...gua apresiasi
terima kasih :)
BalasHapus